Minggu, 28 Juni 2015

Siti Nurbaya dari Tanah Sunda



Ilustrasi (Inet)Roman Siti Nurbaya dari Ranah Minang merupakan sebuah kisah yang begitu melegenda hingga saat ini. Bahkan menjadi ungkapan pembelaan saat anak menolak dijodohkan oleh orang tuanya. “kita bukan siti nurbaya”, sering kali kalimat ini menjadi andalan baik dalam kondisi serius maupun saat saling bercandaan.Siti Nurbaya, kisahnya yang rela bunuh diri saat dipaksa menikah dengan lelaki yang tidak dia suka demi melepaskan lilitan hutang orang tuanya. Entah semua ini benar adanya atau sekadar roman saja, saya pun tak tahu pasti. Satu hal yang saya tahu bahwa, jika semua ini benar maka semoga tak terulang lagi. Kini di Muara laut Padang Sumatera Barat dibangunlah sebuah jembatan dengan nama Siti Nurbaya. Mungkin saja untuk mengenang semua legenda tentang Siti Nurbaya.
“Kawin Paksa”, merupakan ciri khas dari cerita Siti Nurbaya, maka saat ini, itu jua lah yang akan saya sampaikan di sini. Tepat tanggal Dua Belas Juni Dua Ribu Lima Belas (12-06-2015), saya telah kehilangan satu murid lagi. Siswi kelas IX MTs Satap di daerah penempatan saya selama satu tahun ke depan (saya ditempatkan sebagai guru relawan Sekolah Guru Indonesia di MI Nurul Hikmah Cihanjuang, sekalian mengajar di MTs). Dia terpaksa putus sekolah di saat perjuangannya hanya tinggal satu tahun lagi untuk menamatkan MTs nya. Perjuangannya terhenti karena diharuskan menikah oleh orang tuanya, dengan ancaman akan diusir jika tidak menerima. Apalah daya seorang anak perempuan 14 tahun, ketakutan akan di usir mengharuskan dia pasrah saja pada keputusan ayahnya.
Sangat disayangkan, saat kawin paksa itu masih berlaku di abad modern ini. Masih ada orang tua yang hanya memaksakan kehendak kepada anaknya. Lupakah mereka untuk sedikit berpikir apakah tindakan yang mereka lakukan dapat menghancurkan masa depan anaknya? Pikirku kawin paksa itu hanya ada di kampungku di Ranah Minang, ternyata kini semuanya sampai ke tanah pengabdianku di Ujung Kulon yang mayoritas suku Sunda.
Sampai di sini aku begitu kaget dengan kenyataan yang ada, nikah dan cerai bagai permainan. Nikah di bawah umur pun hal yang biasa saja. Bukan hal aneh jika tiap anak yang di punya memiliki ayah yang berbeda, Bahkan di sini ada yang sudah ganti suami hingga empat puluh kali. Naudzubillah
Pedihnya hati seorang guru saat melihat siswa yang semangat belajar, malah meninggalkan bangku sekolahan. Pernah kepala sekolah menyuruhku memberikan pertimbangan kepada orang tuanya agar pernikahan anaknya ditunda hingga tahun depan. Tetapi sungguh diriku tiada berani, karena saat diminta pertimbangan kepada guru-guru yang lain, mereka malah melarang dan mengingatkanku agar lebih sayang dengan nyawa. Meskipun tak terlalu percaya dengan mistis namun ada juga rasa gentar di hati.
Kini tak ada lagi yang dapat kuungkapkan, semuanya telah terjadi. Ibarat nasi yang telah jadi bubur, tidak mungkin akan kembali menjadi beras, tinggal ditambah saja bumbunya agar menjadi bubur yang enak. Siswaku sudah benar-benar hilang, dia bukan lagi siswaku yang manis di kelas, tapi dia telah menjadi ibu rumah tangga, bahkan telah lebih dulu dariku, gurunya.
Semua yang telah terjadi bukan untuk disesali, tapi untuk diambil ibrohnya agar tak terulang lagi di kemudian hari. Mungkin saya telah kehilangan satu siswa tapi saya masih punya banyak siswa yang perlu dijaga. Setiap hari saya selalu berharap semoga semua siswa yang tersisa dapat menggapai semua asa dan impiannya.
Saya di sini hanya pendatang, tapi sangat tak ingin jika tak ada sedikit pun perubahan yang dapat saya lakukan hingga pulang. Memang mengubah masyarakat luas itu suatu keniscayaan tapi keinginan, usaha dan doa yang tulus ikhlas adalah semangat untuk terus bertahan.
Setiap kali ada yang membahas tentang siswaku yang putus sekolah itu, saya terus mencoba menyisipkan keengganan tentang kawin paksa. Meskipun semuanya diungkapkan tanpa blak-blakan. Saya hanya mencoba menyadarkan siswa dan para orang tua tentang pendidikan. Saya memang bukan pakar, tapi saya hanya ingin saling belajar dengan masyarakat di mana pun berada.
Syukurnya, saat ini pernikahan siswaku mampu membuka mata banyak orang tua. Walaupun tak bisa dipastikan sampai kapan semua ini akan bisa bertahan. Di sisa-sisa pengabdianku di sini begitu banyak PR yang mesti diselesaikan. Berhasil, bukan tujuan utamaku tapi mencoba adalah kewajibanku, dengan harapan setiap kali mencoba semoga ada yang berhasil.
Kadang aku ingin berteriak sekencang-kencangnya di tempat yang paling tinggi. Agar seluruh negeri bisa mendengar dan menyadari kenyataan yang terjadi hari ini” Wahai para orang tua yang terjerat keegoisan, bangunlah, lihatlah mata anak-anakmu, relakah engkau saat impian yang terpancar dari binar matanya hilang terhanyut oleh air mata pasrah karena ingin menuruti kehendakmu? Bahagiakah engkau saat masa depan anakmu terkubur dalam siksa yang engkau ciptakan. Sadarkah engkau bahwa sesungguhnya engkau pun benci dengan paksaan? Semoga perlahan-lahan kau kan tanggalkan pakaian kepongahan sebagai orang tua yang terlupa hakikat menjaga anak sebagai amanah yang kuasa.
Untuk para orang tua yang luar biasa, terima kasih telah menjaga dan mendidik kami menjadi insan yang berguna. Kami tak bisa memberikan harga untuk semua jasamu, bukan karena semuanya tak bernilai tapi karena sangat tak ternilai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar