Roman Siti Nurbaya dari Ranah Minang merupakan sebuah kisah yang
begitu melegenda hingga saat ini. Bahkan menjadi ungkapan pembelaan saat
anak menolak dijodohkan oleh orang tuanya. “
kita bukan siti nurbaya”, sering kali kalimat ini menjadi andalan baik dalam kondisi serius maupun saat saling bercandaan.Siti
Nurbaya, kisahnya yang rela bunuh diri saat dipaksa menikah dengan
lelaki yang tidak dia suka demi melepaskan lilitan hutang orang tuanya.
Entah semua ini benar adanya atau sekadar roman saja, saya pun tak tahu
pasti. Satu hal yang saya tahu bahwa, jika semua ini benar maka semoga
tak terulang lagi. Kini di Muara laut Padang Sumatera Barat dibangunlah
sebuah jembatan dengan nama Siti Nurbaya. Mungkin saja untuk mengenang
semua legenda tentang Siti Nurbaya.
“Kawin Paksa”, merupakan ciri
khas dari cerita Siti Nurbaya, maka saat ini, itu jua lah yang akan saya
sampaikan di sini. Tepat tanggal Dua Belas Juni Dua Ribu Lima Belas
(12-06-2015), saya telah kehilangan satu murid lagi. Siswi kelas IX MTs
Satap di daerah penempatan saya selama satu tahun ke depan (saya
ditempatkan sebagai guru relawan Sekolah Guru Indonesia di MI Nurul
Hikmah Cihanjuang, sekalian mengajar di MTs). Dia terpaksa putus sekolah
di saat perjuangannya hanya tinggal satu tahun lagi untuk menamatkan
MTs nya. Perjuangannya terhenti karena diharuskan menikah oleh orang
tuanya, dengan ancaman akan diusir jika tidak menerima. Apalah daya
seorang anak perempuan 14 tahun, ketakutan akan di usir mengharuskan dia
pasrah saja pada keputusan ayahnya.
Sangat disayangkan, saat
kawin paksa itu masih berlaku di abad modern ini. Masih ada orang tua
yang hanya memaksakan kehendak kepada anaknya. Lupakah mereka untuk
sedikit berpikir apakah tindakan yang mereka lakukan dapat menghancurkan
masa depan anaknya? Pikirku kawin paksa itu hanya ada di kampungku di
Ranah Minang, ternyata kini semuanya sampai ke tanah pengabdianku di
Ujung Kulon yang mayoritas suku Sunda.
Sampai di sini aku begitu
kaget dengan kenyataan yang ada, nikah dan cerai bagai permainan. Nikah
di bawah umur pun hal yang biasa saja. Bukan hal aneh jika tiap anak
yang di punya memiliki ayah yang berbeda, Bahkan di sini ada yang sudah
ganti suami hingga empat puluh kali. Naudzubillah
Pedihnya hati
seorang guru saat melihat siswa yang semangat belajar, malah
meninggalkan bangku sekolahan. Pernah kepala sekolah menyuruhku
memberikan pertimbangan kepada orang tuanya agar pernikahan anaknya
ditunda hingga tahun depan. Tetapi sungguh diriku tiada berani, karena
saat diminta pertimbangan kepada guru-guru yang lain, mereka malah
melarang dan mengingatkanku agar lebih sayang dengan nyawa. Meskipun tak
terlalu percaya dengan mistis namun ada juga rasa gentar di hati.
Kini
tak ada lagi yang dapat kuungkapkan, semuanya telah terjadi. Ibarat
nasi yang telah jadi bubur, tidak mungkin akan kembali menjadi beras,
tinggal ditambah saja bumbunya agar menjadi bubur yang enak. Siswaku
sudah benar-benar hilang, dia bukan lagi siswaku yang manis di kelas,
tapi dia telah menjadi ibu rumah tangga, bahkan telah lebih dulu dariku,
gurunya.
Semua yang telah terjadi bukan untuk disesali, tapi
untuk diambil ibrohnya agar tak terulang lagi di kemudian hari. Mungkin
saya telah kehilangan satu siswa tapi saya masih punya banyak siswa yang
perlu dijaga. Setiap hari saya selalu berharap semoga semua siswa yang
tersisa dapat menggapai semua asa dan impiannya.
Saya di sini
hanya pendatang, tapi sangat tak ingin jika tak ada sedikit pun
perubahan yang dapat saya lakukan hingga pulang. Memang mengubah
masyarakat luas itu suatu keniscayaan tapi keinginan, usaha dan doa yang
tulus ikhlas adalah semangat untuk terus bertahan.
Setiap kali
ada yang membahas tentang siswaku yang putus sekolah itu, saya terus
mencoba menyisipkan keengganan tentang kawin paksa. Meskipun semuanya
diungkapkan tanpa blak-blakan. Saya hanya mencoba menyadarkan siswa dan
para orang tua tentang pendidikan. Saya memang bukan pakar, tapi saya
hanya ingin saling belajar dengan masyarakat di mana pun berada.
Syukurnya,
saat ini pernikahan siswaku mampu membuka mata banyak orang tua.
Walaupun tak bisa dipastikan sampai kapan semua ini akan bisa bertahan.
Di sisa-sisa pengabdianku di sini begitu banyak PR yang mesti
diselesaikan. Berhasil, bukan tujuan utamaku tapi mencoba adalah
kewajibanku, dengan harapan setiap kali mencoba semoga ada yang
berhasil.
Kadang aku ingin berteriak sekencang-kencangnya di
tempat yang paling tinggi. Agar seluruh negeri bisa mendengar dan
menyadari kenyataan yang terjadi hari ini”
Wahai para orang tua yang
terjerat keegoisan, bangunlah, lihatlah mata anak-anakmu, relakah
engkau saat impian yang terpancar dari binar matanya hilang terhanyut
oleh air mata pasrah karena ingin menuruti kehendakmu?
Bahagiakah engkau saat masa depan anakmu terkubur dalam siksa yang
engkau ciptakan. Sadarkah engkau bahwa sesungguhnya engkau pun benci
dengan paksaan? Semoga perlahan-lahan kau kan
tanggalkan pakaian kepongahan sebagai orang tua yang terlupa hakikat
menjaga anak sebagai amanah yang kuasa.
Untuk para orang tua
yang luar biasa, terima kasih telah menjaga dan mendidik kami menjadi
insan yang berguna. Kami tak bisa memberikan harga untuk semua jasamu,
bukan karena semuanya tak bernilai tapi karena sangat tak ternilai.